Chado: Seni Menyeruput Harmoni dalam Tradisi Kekaisaran Jepang

Upacara minum teh, atau chado, merupakan seni tradisional yang mendalam dan menjadi bagian penting dari budaya Kekaisaran Jepang selama lebih dari 500 tahun. Walaupun terlihat sederhana, esensi dari upacara ini adalah proses menyeduh, menyajikan, dan menikmati teh hijau dengan penuh perhatian. Namun, pelaksanaannya melibatkan rangkaian langkah yang sangat terstruktur. Menurut A.L. Sadler, seorang cendekiawan Jepang, sejak tahun 1933 tercatat bahwa chado terdiri dari 37 langkah tetap yang masih dilestarikan hingga kini. Untuk menguasai keseluruhan prosesnya, seseorang biasanya membutuhkan waktu belajar selama satu dekade.

Asal mula tradisi ini berasal dari biara-biara Buddha di Tiongkok, di mana teh digunakan sebagai pengusir kantuk dalam meditasi. Di Jepang, teh diperkenalkan oleh biksu Kukai pada abad ke-9 dan semakin populer setelah biksu Eisai membawa benih teh dan metode penyajian matcha dari Tiongkok pada abad ke-12. Teh lalu menjadi bagian dari praktik Zen, dengan keyakinan bahwa pencerahan bisa diraih melalui kegiatan sehari-hari, seperti minum teh.

Dalam masa peperangan pada periode Sengoku, chado menjadi alat untuk menciptakan ketenangan dan harmoni di tengah konflik. Samurai dan kalangan bangsawan mulai mengadopsi ritual ini dengan lebih sederhana dan bermakna. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, chado tetap bertahan sebagai warisan budaya Jepang yang sarat akan nilai spiritual, disiplin, serta keindahan yang berakar pada kesederhanaan dan kebersamaan.

Kimono: Perjalanan Panjang Pakaian Tradisional Jepang

Pada awalnya, kata “kimono” dalam bahasa Jepang memiliki arti sederhana, yakni pakaian. Namun, seiring waktu, istilah ini menjadi identik dengan busana tradisional khas Jepang. Bentuk kimono seperti yang dikenal saat ini pertama kali muncul pada era Heian (794-1192). Sebelumnya, pada zaman Nara (710-794), masyarakat Jepang mengenakan pakaian yang terdiri dari atasan dan bawahan atau baju terusan.

Perkembangan kimono semakin pesat ketika teknik “straight-line-cut” diperkenalkan, yaitu metode pemotongan kain dalam garis lurus yang kemudian dijahit tanpa perlu menyesuaikan bentuk tubuh pemakainya. Teknik ini membuat kimono lebih fleksibel, mudah dilipat, dan nyaman dikenakan dalam berbagai cuaca. Saat musim dingin, kimono dapat digunakan secara berlapis untuk memberikan kehangatan, sementara di musim panas, bahan linen membuatnya tetap nyaman dikenakan.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Jepang mulai memperhatikan warna dalam pembuatan kimono, yang awalnya melambangkan musim atau status politik pemakainya. Pada era Kamakura (1192-1338) dan Muromachi (1338-1573), warna-warna cerah mulai mendominasi pakaian pria dan wanita. Bahkan, para samurai mengenakan kimono sesuai warna pemimpin mereka, sehingga medan perang tampak seperti ajang peragaan busana.

Pada masa Edo (1603-1868), di bawah kekuasaan klan Tokugawa, samurai mengenakan seragam khas yang terdiri dari kimono, pakaian tanpa lengan (kamishimo), dan hakama berbentuk rok celana. Produksi kimono semakin berkembang dan menjadi bentuk seni yang bernilai tinggi. Kimono juga dianggap sebagai warisan berharga yang diwariskan dari orang tua kepada anak-anak mereka.

Saat memasuki era Meiji (1868-1912), budaya Barat mulai memengaruhi Jepang. Pejabat dan personel militer diwajibkan mengenakan pakaian Barat dalam acara resmi, sementara masyarakat biasa masih memakai kimono untuk acara-acara tertentu. Di era modern, kimono tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi tetap menjadi bagian penting dari budaya Jepang, dikenakan dalam acara pernikahan, pemakaman, upacara minum teh, dan festival tradisional.