Upacara minum teh, atau chado, merupakan seni tradisional yang mendalam dan menjadi bagian penting dari budaya Kekaisaran Jepang selama lebih dari 500 tahun. Walaupun terlihat sederhana, esensi dari upacara ini adalah proses menyeduh, menyajikan, dan menikmati teh hijau dengan penuh perhatian. Namun, pelaksanaannya melibatkan rangkaian langkah yang sangat terstruktur. Menurut A.L. Sadler, seorang cendekiawan Jepang, sejak tahun 1933 tercatat bahwa chado terdiri dari 37 langkah tetap yang masih dilestarikan hingga kini. Untuk menguasai keseluruhan prosesnya, seseorang biasanya membutuhkan waktu belajar selama satu dekade.
Asal mula tradisi ini berasal dari biara-biara Buddha di Tiongkok, di mana teh digunakan sebagai pengusir kantuk dalam meditasi. Di Jepang, teh diperkenalkan oleh biksu Kukai pada abad ke-9 dan semakin populer setelah biksu Eisai membawa benih teh dan metode penyajian matcha dari Tiongkok pada abad ke-12. Teh lalu menjadi bagian dari praktik Zen, dengan keyakinan bahwa pencerahan bisa diraih melalui kegiatan sehari-hari, seperti minum teh.
Dalam masa peperangan pada periode Sengoku, chado menjadi alat untuk menciptakan ketenangan dan harmoni di tengah konflik. Samurai dan kalangan bangsawan mulai mengadopsi ritual ini dengan lebih sederhana dan bermakna. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, chado tetap bertahan sebagai warisan budaya Jepang yang sarat akan nilai spiritual, disiplin, serta keindahan yang berakar pada kesederhanaan dan kebersamaan.