Klan Date dan Inovasi Sake: Bubuk Alkohol yang Menghilang dalam Sejarah Jepang

Di Sendai, ibu kota Prefektur Miyagi, pengaruh Klan Date terasa begitu kental. Klan ini, yang dipimpin oleh Date Masamune, tidak hanya meninggalkan jejak di kota melalui berbagai monumen dan tradisi lokal, tetapi juga memainkan peran penting dalam sejarah sake Jepang. Klan Date dikenal sebagai pelopor dalam pembuatan sake, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan samurai mereka. Salah satu produk paling unik yang muncul dari masa kejayaan mereka adalah inro-shu, bubuk alkohol yang mudah dibawa dan dilarutkan dalam air. Sejarah inro-shu dimulai pada tahun 1608 ketika Masamune, yang merupakan penggemar sake, mencicipi minuman dari pembuatan sake Yagyu di Edo. Terkesan dengan rasa dan kualitas sake tersebut, Masamune kemudian meminta Yagyu Munenori untuk mengirimkan seorang pembuat sake terbaik, yang akhirnya adalah Kayamori Mataemon. Mataemon diberi tugas untuk mengelola produksi sake keluarga Date, dan selama lebih dari lima dekade, ia menciptakan lebih dari 27 jenis minuman alkohol, termasuk inro-shu. Bubuk alkohol ini dirancang khusus untuk dibawa oleh samurai sebagai bagian dari ransum mereka saat berperang. Dalam wadah kecil bernama inro, samurai bisa dengan mudah membawa alkohol dalam bentuk bubuk yang dapat dilarutkan dalam air. Sayangnya, setelah Meiji mengakhiri era perang dan membawa perubahan besar, inro-shu perlahan hilang dari peredaran. Resep dan tradisi ini pun akhirnya menghilang di tengah transisi ke era damai Jepang. Namun, warisan sake dari Klan Date tetap hidup melalui produksi sake yang masih dapat dinikmati di Sendai hingga hari ini, salah satunya adalah “Sake Resmi Domain Sendai” yang terus diproduksi oleh Keluarga Katsuyama.

Tradisi Berburu Paus di Jepang: Antara Warisan Budaya dan Kontroversi Global

Daging paus telah lama menjadi bagian penting dari pola makan masyarakat Jepang, bahkan disebutkan dalam Kojiki, catatan sejarah tertua Jepang, bahwa Kaisar Jimmu pernah mengonsumsinya. Seiring waktu, Jepang mengembangkan teknik perburuan paus yang semakin efisien, menjadikannya industri yang berkembang pesat. Tak hanya sebagai makanan, masyarakat Jepang juga memanfaatkan paus untuk minyak dan berbagai keperluan lainnya. Bahkan, kedatangan Komodor Matthew Perry ke Teluk Edo pada abad ke-19 sebagian didorong oleh pencarian basis perburuan paus bagi Amerika Serikat di Pasifik barat laut.

Namun, konsumsi daging paus di Jepang mendapat sorotan global karena paus tergolong spesies yang dilindungi akibat populasinya yang terus menurun. Kesadaran masyarakat Jepang sendiri terhadap isu ini juga meningkat, terbukti dari survei yang dilakukan Nippon Research Center dengan dana dari International Fund for Animal Welfare (IFAW). Dari 1.200 responden, hampir 90 persen mengaku tidak membeli daging paus dalam setahun terakhir, sementara hanya lima persen membelinya sekali dan dua persen lebih dari dua kali. Selain itu, hanya 27 persen yang masih mendukung industri ini, dengan 11 persen memberikan dukungan kuat dan 18 persen menentang. Dukungan terbesar datang dari kelompok usia 60-69 tahun, yang cenderung mempertahankan tradisi leluhur.

Mayoritas masyarakat Jepang sebenarnya menolak perburuan paus, dengan 55 persen tidak menyetujui kebijakan pemerintah yang tetap mempertahankan aktivitas ini dengan alasan kebanggaan nasional. Patrick Ramage dari IFAW menyatakan bahwa klaim Japan Fisheries Agency tentang dukungan publik terhadap perburuan paus tidak akurat dan hanya digunakan sebagai dalih mempertahankan industri tersebut. Kontroversi ini bahkan berujung pada gugatan dari Australia dan Selandia Baru ke Mahkamah Internasional pada 2010, menuduh Jepang melanggar konvensi internasional dengan dalih penelitian.

Festival Obon: Tradisi Jepang dalam Menyambut Arwah Leluhur

Setiap musim panas, masyarakat Jepang merayakan Festival Obon sebagai bentuk penghormatan kepada arwah leluhur yang diyakini kembali ke dunia. Kepercayaan akan keterikatan antara dunia orang hidup dan arwah telah ada sejak zaman kuno, tetapi perayaan ini sebagian besar berakar dari sutra Buddha, Urabon-kyō. Menurut ajaran tersebut, seorang murid Buddha menemukan ibunya berada di Alam Roh Lapar, tempat jiwa-jiwa tersiksa dalam kelaparan dan dahaga yang abadi. Untuk membebaskannya, Buddha memerintahkan murid itu untuk memberikan persembahan makanan dan minuman kepada para biksu pada tanggal 15 bulan ketujuh.

Saat ini, tradisi tersebut berkembang menjadi sebuah perayaan besar yang berlangsung selama tiga hari antara Juli dan Agustus. Pada momen ini, anggota keluarga kembali ke kampung halaman mereka untuk melaksanakan berbagai ritual demi menghormati leluhur dan membantu arwah gelisah menemukan kedamaian. Festival dimulai dengan mukaebi, yakni menyalakan lentera dan api kecil sebagai panduan bagi roh yang kembali ke rumah. Setiap keluarga biasanya memiliki dua shōryō-dana, yaitu altar yang dihiasi buah, dupa, dan bunga—satu untuk leluhur mereka dan satu lagi untuk arwah yang masih tersesat.

Selain itu, ritual ohakamairi juga dilakukan dengan membersihkan makam leluhur, berdoa di kuil, dan menyiapkan hidangan khusus. Festival ini semakin meriah dengan Bon Odori, tarian tradisional yang dapat diikuti oleh siapa saja. Para penari mengenakan kostum karakter cerita rakyat serta melukis wajah mereka sebelum menari berkeliling panggung diiringi tabuhan drum taiko. Pada malam terakhir, festival ditutup dengan okuribi, yaitu pelepasan lentera dan api unggun sebagai tanda perpisahan dengan arwah yang kembali ke alam mereka. Festival Obon sendiri pertama kali muncul pada periode Asuka dan semakin populer pada abad ke-12 seiring berkembangnya agama Buddha di Jepang.

Keunikan Tradisi Jepang Menyambut Tahun Baru Dengan Semangat Kebersihan Dan Keberuntungan

Dalam budaya Jepang, terdapat tradisi khusus dalam menyambut Tahun Baru, salah satunya adalah susuharai, yang berarti “menyapu jelaga.” Tradisi ini sudah ada sejak periode Edo dan menjadi bagian penting dalam mempersiapkan kedatangan Toshigami, dewa Tahun Baru. Pada awalnya, susuharai dilakukan di rumah-rumah dan perkebunan samurai, tetapi kini lebih sering terlihat di kuil Buddha dan kuil Shinto. Proses pembersihan ini tidak hanya bertujuan untuk membersihkan debu dan kotoran yang menumpuk selama setahun, tetapi juga sebagai bentuk penyucian agar membawa keberuntungan. Selain itu, kegiatan ini dilakukan dengan penuh semangat dan bahkan menjadi ajang berkumpul, di mana peserta disuguhi makanan khas seperti kue beras dan sake. Setelah rumah dibersihkan, dekorasi Tahun Baru mulai dipasang, yang biasanya diperoleh dari pameran toshi no ichi yang menjual berbagai barang keberuntungan, seperti shimenawa dan kadomatsu.

Menjelang pergantian tahun, mochitsuki atau tradisi menumbuk kue beras menjadi acara yang dinantikan. Mochi dibuat sendiri di rumah atau dikerjakan oleh kelompok tobi yang berkeliling menawarkan jasanya. Selain itu, ada tradisi setsubun yang bertujuan mengusir roh jahat dengan melempar kacang kedelai panggang sambil meneriakkan mantra keberuntungan. Di malam terakhir tahun yang berjalan, omisoka dirayakan dengan berbagai adat, termasuk joya no kane, yaitu pembunyian lonceng kuil sebanyak 108 kali untuk menghilangkan hawa nafsu duniawi. Salah satu tradisi unik yang masih lestari adalah Parade Rubah Oji, di mana orang-orang mengenakan topeng rubah dan berjalan menuju Kuil Inari dengan lentera menyala, menggambarkan kisah rubah mistis yang diyakini membawa keberuntungan. Berbagai perayaan ini tidak hanya menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat Jepang, tetapi juga menjaga keberlanjutan warisan budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad.