Legenda Jepang dan Jejaknya dalam Nasionalisme Kekaisaran

Cerita rakyat Jepang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas nasional, menanamkan kebanggaan dan kesetiaan di antara rakyatnya. Kisah-kisah mitologi dalam Kojiki (712) dan Nihongi (720) disusun untuk memperkuat legitimasi kekuasaan kekaisaran, menciptakan narasi yang menghubungkan kepemimpinan dengan garis keturunan ilahi. Seiring berjalannya waktu, mitologi Shinto semakin memperkokoh gagasan nasionalisme, menampilkan Kaisar sebagai pemimpin yang memiliki hubungan langsung dengan para dewa.

Pada era modernisasi abad ke-19, Kekaisaran Jepang mengukuhkan nilai-nilai patriotisme melalui “Naskah Kekaisaran tentang Pendidikan” tahun 1890. Dokumen ini menekankan pengajaran moral wajib yang bertujuan memperkuat semangat kebangsaan dan identitas Jepang dalam menghadapi pengaruh Barat. Salah satu legenda yang memainkan peran besar dalam membentuk kesadaran nasional adalah kisah Momotaro. Tokoh ini, yang lahir dari buah persik dan bertempur melawan iblis di Pulau Iblis, sering dikaitkan dengan keberanian dan kemenangan bangsa Jepang melawan musuh asing.

Legenda Shinto lainnya, seperti mitos Amaterasu, menegaskan asal-usul ilahi kaisar dan memperkuat peran kekaisaran sebagai pemersatu bangsa. Sementara itu, kisah Susanoo, dewa badai, menggambarkan ketangguhan Jepang dalam menghadapi tantangan. Konsep “Yamato-damashii,” yang mengutamakan kesetiaan dan pengorbanan diri demi negara, semakin menegaskan nasionalisme ini. Kisah Empat Puluh Tujuh Ronin menjadi bukti lain dari nilai-nilai ini, mencerminkan semangat perjuangan dan persatuan yang terus menjadi landasan bangsa Jepang.

Keindahan Hinamatsuri: Tradisi Boneka yang Sarat Makna di Jepang

Hinamatsuri, atau yang dikenal sebagai Hari Boneka, adalah festival tahunan di Jepang yang dirayakan setiap tanggal 3 Maret untuk menghormati anak perempuan. Perayaan ini diisi dengan berbagai tradisi khas, seperti penyajian makanan tradisional, nyanyian, serta pajangan boneka yang memiliki makna mendalam. Boneka dalam festival ini menggambarkan tokoh-tokoh istana kekaisaran Jepang, termasuk kaisar, permaisuri, musisi, penjaga, dan dayang. Dengan memainkan boneka tersebut, anak perempuan Jepang meniru peran sosial dalam lingkungan istana, melambangkan harapan agar mereka tumbuh sehat dan bahagia serta menjadi anggota masyarakat yang dewasa dan berkontribusi.

Festival ini memiliki akar sejarah sejak periode Heian (794-1185 M), di mana pada hari Mi (ular) dalam kalender lunar, masyarakat melakukan ritual penyucian untuk mengusir kesialan dan mendatangkan keberuntungan serta kesehatan sepanjang tahun. Selain berdoa dan mempersembahkan makanan kepada para dewa, boneka juga digunakan dalam ritual ini untuk menangkal kemalangan. Tradisi ini berkembang pada periode Edo (1603-1868 M) dan kemudian berubah menjadi perayaan Hinamatsuri seperti yang dikenal saat ini. Seiring berjalannya waktu, festival ini tetap bertahan dan mengalami adaptasi dengan budaya modern, tetapi makna dan nilai historisnya tetap dijaga. Boneka-boneka yang digunakan dalam pameran festival biasanya dibuat sejak tahun 1950-an, meskipun desainnya tetap mempertahankan kemewahan dan keanggunan bangsawan Jepang dari 1000 tahun yang lalu.

Keunikan Tradisi Jepang Menyambut Tahun Baru Dengan Semangat Kebersihan Dan Keberuntungan

Dalam budaya Jepang, terdapat tradisi khusus dalam menyambut Tahun Baru, salah satunya adalah susuharai, yang berarti “menyapu jelaga.” Tradisi ini sudah ada sejak periode Edo dan menjadi bagian penting dalam mempersiapkan kedatangan Toshigami, dewa Tahun Baru. Pada awalnya, susuharai dilakukan di rumah-rumah dan perkebunan samurai, tetapi kini lebih sering terlihat di kuil Buddha dan kuil Shinto. Proses pembersihan ini tidak hanya bertujuan untuk membersihkan debu dan kotoran yang menumpuk selama setahun, tetapi juga sebagai bentuk penyucian agar membawa keberuntungan. Selain itu, kegiatan ini dilakukan dengan penuh semangat dan bahkan menjadi ajang berkumpul, di mana peserta disuguhi makanan khas seperti kue beras dan sake. Setelah rumah dibersihkan, dekorasi Tahun Baru mulai dipasang, yang biasanya diperoleh dari pameran toshi no ichi yang menjual berbagai barang keberuntungan, seperti shimenawa dan kadomatsu.

Menjelang pergantian tahun, mochitsuki atau tradisi menumbuk kue beras menjadi acara yang dinantikan. Mochi dibuat sendiri di rumah atau dikerjakan oleh kelompok tobi yang berkeliling menawarkan jasanya. Selain itu, ada tradisi setsubun yang bertujuan mengusir roh jahat dengan melempar kacang kedelai panggang sambil meneriakkan mantra keberuntungan. Di malam terakhir tahun yang berjalan, omisoka dirayakan dengan berbagai adat, termasuk joya no kane, yaitu pembunyian lonceng kuil sebanyak 108 kali untuk menghilangkan hawa nafsu duniawi. Salah satu tradisi unik yang masih lestari adalah Parade Rubah Oji, di mana orang-orang mengenakan topeng rubah dan berjalan menuju Kuil Inari dengan lentera menyala, menggambarkan kisah rubah mistis yang diyakini membawa keberuntungan. Berbagai perayaan ini tidak hanya menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat Jepang, tetapi juga menjaga keberlanjutan warisan budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad.