Tradisi Berburu Paus di Jepang: Antara Warisan Budaya dan Kontroversi Global

Daging paus telah lama menjadi bagian penting dari pola makan masyarakat Jepang, bahkan disebutkan dalam Kojiki, catatan sejarah tertua Jepang, bahwa Kaisar Jimmu pernah mengonsumsinya. Seiring waktu, Jepang mengembangkan teknik perburuan paus yang semakin efisien, menjadikannya industri yang berkembang pesat. Tak hanya sebagai makanan, masyarakat Jepang juga memanfaatkan paus untuk minyak dan berbagai keperluan lainnya. Bahkan, kedatangan Komodor Matthew Perry ke Teluk Edo pada abad ke-19 sebagian didorong oleh pencarian basis perburuan paus bagi Amerika Serikat di Pasifik barat laut.

Namun, konsumsi daging paus di Jepang mendapat sorotan global karena paus tergolong spesies yang dilindungi akibat populasinya yang terus menurun. Kesadaran masyarakat Jepang sendiri terhadap isu ini juga meningkat, terbukti dari survei yang dilakukan Nippon Research Center dengan dana dari International Fund for Animal Welfare (IFAW). Dari 1.200 responden, hampir 90 persen mengaku tidak membeli daging paus dalam setahun terakhir, sementara hanya lima persen membelinya sekali dan dua persen lebih dari dua kali. Selain itu, hanya 27 persen yang masih mendukung industri ini, dengan 11 persen memberikan dukungan kuat dan 18 persen menentang. Dukungan terbesar datang dari kelompok usia 60-69 tahun, yang cenderung mempertahankan tradisi leluhur.

Mayoritas masyarakat Jepang sebenarnya menolak perburuan paus, dengan 55 persen tidak menyetujui kebijakan pemerintah yang tetap mempertahankan aktivitas ini dengan alasan kebanggaan nasional. Patrick Ramage dari IFAW menyatakan bahwa klaim Japan Fisheries Agency tentang dukungan publik terhadap perburuan paus tidak akurat dan hanya digunakan sebagai dalih mempertahankan industri tersebut. Kontroversi ini bahkan berujung pada gugatan dari Australia dan Selandia Baru ke Mahkamah Internasional pada 2010, menuduh Jepang melanggar konvensi internasional dengan dalih penelitian.