Klan Date dan Inovasi Sake: Bubuk Alkohol yang Menghilang dalam Sejarah Jepang

Di Sendai, ibu kota Prefektur Miyagi, pengaruh Klan Date terasa begitu kental. Klan ini, yang dipimpin oleh Date Masamune, tidak hanya meninggalkan jejak di kota melalui berbagai monumen dan tradisi lokal, tetapi juga memainkan peran penting dalam sejarah sake Jepang. Klan Date dikenal sebagai pelopor dalam pembuatan sake, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan samurai mereka. Salah satu produk paling unik yang muncul dari masa kejayaan mereka adalah inro-shu, bubuk alkohol yang mudah dibawa dan dilarutkan dalam air. Sejarah inro-shu dimulai pada tahun 1608 ketika Masamune, yang merupakan penggemar sake, mencicipi minuman dari pembuatan sake Yagyu di Edo. Terkesan dengan rasa dan kualitas sake tersebut, Masamune kemudian meminta Yagyu Munenori untuk mengirimkan seorang pembuat sake terbaik, yang akhirnya adalah Kayamori Mataemon. Mataemon diberi tugas untuk mengelola produksi sake keluarga Date, dan selama lebih dari lima dekade, ia menciptakan lebih dari 27 jenis minuman alkohol, termasuk inro-shu. Bubuk alkohol ini dirancang khusus untuk dibawa oleh samurai sebagai bagian dari ransum mereka saat berperang. Dalam wadah kecil bernama inro, samurai bisa dengan mudah membawa alkohol dalam bentuk bubuk yang dapat dilarutkan dalam air. Sayangnya, setelah Meiji mengakhiri era perang dan membawa perubahan besar, inro-shu perlahan hilang dari peredaran. Resep dan tradisi ini pun akhirnya menghilang di tengah transisi ke era damai Jepang. Namun, warisan sake dari Klan Date tetap hidup melalui produksi sake yang masih dapat dinikmati di Sendai hingga hari ini, salah satunya adalah “Sake Resmi Domain Sendai” yang terus diproduksi oleh Keluarga Katsuyama.

Seni Menyeruput Keheningan: Tradisi Teh di Jepang yang Penuh Filosofi

Di masa Kekaisaran Jepang pada abad pertengahan, teh bukan hanya sekadar minuman, melainkan seni yang dipelajari secara khusus. Sekolah-sekolah yang mengajarkan tata cara minum teh mulai berkembang pesat, mencerminkan betapa pentingnya teh dalam budaya Jepang. Teh hijau menjadi jenis yang paling dominan, tersedia dalam dua bentuk, yaitu daun kasar yang biasa diminum setelah makan serta bubuk halus yang disajikan pada acara-acara istimewa. Minum teh tidak hanya dilakukan di rumah, tetapi juga di tempat khusus seperti ruang teh atau kedai teh yang disebut sukiya, yang berarti “rumah ketidaksempurnaan”. Kedai teh ini memiliki desain sederhana dengan pintu rendah, yang diyakini bertujuan untuk menanamkan rasa kesetaraan di antara para tamunya tanpa memandang status sosial. Kedai teh sering kali berada di taman yang tenang, dihiasi batu loncatan, pepohonan hijau, dan lumut lebat agar menciptakan suasana damai sebelum upacara teh dimulai.

Sebelum masuk ke kedai teh, tamu harus membersihkan tangan menggunakan baskom air. Di dalamnya, lantai tatami menjadi alas, sementara tuan rumah mempersiapkan teh di balik layar geser. Peralatan teh seperti teko, cangkir, dan stoples penyimpanan sering kali dibuat dari porselen berkualitas tinggi dan menjadi bagian dari dekorasi rumah. Seiring waktu, kebiasaan minum teh berkembang menjadi ritual yang elegan, dengan berbagai buku dan puisi yang menggambarkan esensi serta makna di balik tradisi ini. Dalam upacara teh, peralatan seperti anglo, ketel besi, dan pengocok bambu digunakan dengan penuh ketelitian. Matcha, teh hijau berkualitas tinggi berbentuk bubuk halus, menjadi pilihan utama dalam upacara ini, sedangkan sencha yang lebih murah lebih sering dikonsumsi sehari-hari. Mangkuk teh juga memiliki nilai estetika yang tinggi, dengan desain yang sederhana agar tidak bertentangan dengan prinsip wabi.

Tuan rumah akan melayani tamu terlebih dahulu sebelum dirinya sendiri, dan teh harus diminum perlahan untuk benar-benar mengapresiasi pengalaman tersebut. Penikmat teh yang sejati juga harus memahami berbagai elemen seni lainnya, seperti desain arsitektur, taman, dan keramik. Tradisi ini erat kaitannya dengan ajaran Zen dan sering dilakukan di biara-biara Buddha Jepang. Hingga kini, terdapat tiga ruang teh asli yang masih bertahan dan dianggap sebagai Harta Nasional Jepang, yaitu di Myoki-an di Yamasaki, kuil Shinto Minase-gu, serta biara Saiho-ji di Kyoto. Meskipun teh kini dapat ditemukan di berbagai tempat seperti restoran sushi hingga mesin penjual otomatis, masyarakat Jepang tetap mempertahankan makna mendalam dari tradisi ini. Sebungkus teh berkualitas pun masih menjadi hadiah berharga, melanjutkan kebiasaan yang telah berlangsung sejak para biksu Buddha memperkenalkan teh pada abad ke-8.