Dalam budaya Jepang, terdapat tradisi khusus dalam menyambut Tahun Baru, salah satunya adalah susuharai, yang berarti “menyapu jelaga.” Tradisi ini sudah ada sejak periode Edo dan menjadi bagian penting dalam mempersiapkan kedatangan Toshigami, dewa Tahun Baru. Pada awalnya, susuharai dilakukan di rumah-rumah dan perkebunan samurai, tetapi kini lebih sering terlihat di kuil Buddha dan kuil Shinto. Proses pembersihan ini tidak hanya bertujuan untuk membersihkan debu dan kotoran yang menumpuk selama setahun, tetapi juga sebagai bentuk penyucian agar membawa keberuntungan. Selain itu, kegiatan ini dilakukan dengan penuh semangat dan bahkan menjadi ajang berkumpul, di mana peserta disuguhi makanan khas seperti kue beras dan sake. Setelah rumah dibersihkan, dekorasi Tahun Baru mulai dipasang, yang biasanya diperoleh dari pameran toshi no ichi yang menjual berbagai barang keberuntungan, seperti shimenawa dan kadomatsu.
Menjelang pergantian tahun, mochitsuki atau tradisi menumbuk kue beras menjadi acara yang dinantikan. Mochi dibuat sendiri di rumah atau dikerjakan oleh kelompok tobi yang berkeliling menawarkan jasanya. Selain itu, ada tradisi setsubun yang bertujuan mengusir roh jahat dengan melempar kacang kedelai panggang sambil meneriakkan mantra keberuntungan. Di malam terakhir tahun yang berjalan, omisoka dirayakan dengan berbagai adat, termasuk joya no kane, yaitu pembunyian lonceng kuil sebanyak 108 kali untuk menghilangkan hawa nafsu duniawi. Salah satu tradisi unik yang masih lestari adalah Parade Rubah Oji, di mana orang-orang mengenakan topeng rubah dan berjalan menuju Kuil Inari dengan lentera menyala, menggambarkan kisah rubah mistis yang diyakini membawa keberuntungan. Berbagai perayaan ini tidak hanya menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat Jepang, tetapi juga menjaga keberlanjutan warisan budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad.